Showing posts with label Tazkirah. Show all posts
Showing posts with label Tazkirah. Show all posts

Tuesday, October 4, 2011

Induksi Sikap

Seminggu berkampung di Kolej Sains Kesihatan (KSKB) Johor Bharu, saya dipertemukan dengan beberapa orang lama dalam perkhidmatan awam. Pengalaman puluhan tahun dikongsikan dengan para peserta. Antara 'best speakers' yang menarik perhatian saya ialah Tuan Haji Zulkifli b. Tahir, Pengarah KSKB Johor Bharu dan Encik Kalithasan a/l Kaliappan.

Saya rasa mesej terpenting yang dapat disimpulkan dari kursus ini ialah JANGAN SOMBONG, AMANAH dan PRIHATIN. Bunyinya macam slogan skema yang boleh dilihat dalam banyak motto dan logo organisasi. Tapi sebenarnya, banyak cerita-cerita yang berlegar dalam bidang kesihatan dan perkhidmatan awam ada disebalik slogan tersebut.

JANGAN SOMBONG

Tak dinafikan, orang-orang yang bekerja di hospital mudah nak rasa angkuh dan sombong. Maklum aje lah, kata-kata kita didengar dan diikuti oleh pesakit (walaupun ada pesakit yang degil tak dengar kata hehe). Kita juga dirujuk oleh ramai orang, lebih-lebih lagi kalau kita seorang pakar, perunding atau yang mempunyai latar belakang akademik dan prestasi kerja yang cemerlang. Bila berjalan atau dalam majlis-majlis, orang 'address' kita. Kalau kita seorang bos, kita dihormati oleh staf-staf bawah.

Walau apapun pangkat kita dalam sesuatu organisasi, jangan kita sombong dan berasa besar diri dengan kedudukan tersebut. Hormatilah orang bawahan, hormatilah staf-staf sokongan, hormatilah pengawal-pengawal keselamatan, hormatilah tukang cuci kerana mereka semua berperanan dalam menjadikan hospital berfungsi dengan baik.

Pangkat dan kedudukan, semuanya adalah anugerah dan pinjaman dari ALLAH. Sebesar mana pun pangkat kita, kita akan bersara suatu hari nanti dan kemudiannya bersara terus dari hidup di dunia ini. Waktu itu, siapalah kita....

AMANAH

Amanah berkait dengan keberkatan gaji yang kita dapat pada setiap akhir bulan. Bahkan, berkait juga dengan keberkatan hidup. Dalam perkara apa? Macam-macam antaranya bidang tugas, masa kerja, pemilihan kontrak, tuntutan perbelanjaan dan penggunaan harta kerajaan. Saya percaya ramai yang tahu kisah Umar Al-Khattab dengan pelita cahaya milik kerajaan. Fikir-fikirkanlah...

PRIHATIN

A patient's profile is not just merely pieces of papers with words and numbers. It reflects a personality, a person with family and friends, a person who deserves respect and caring no matter who they are. Treat your patients like your family.

Kalau ahli keluarga kita masuk hospital, bagaimana harapan kita kepada staf-staf hospital tersebut? Terbalikkan harapan itu pada keluarga pesakit. Lihat end result. Don't just define achievement by looking at improving lab results, vital signs and compliance to medications, but look also at improving family relations and happiness signs that will insya ALLAH come up as a result of good services by us.

Nota Kaki 1:

Rujuklah orang-orang yang lebih berpengalaman kerana banyak pengajaran berharga yang boleh kita dapat daripada mereka, yang disampaikan dengan cara yang sangat mudah untuk kita faham. Smart person simplify difficult things.

Nota Kaki 2:

Satu perkara yang perlu diambil berat dalam alam pekerjaan ialah menghindarkan diri daripada tabiat mengumpat. Agak berleluasa juga. Nampak gaya macam tak rasa bersalah bercakap sesuatu yang tidak elok tentang orang lain.

Mengumpat ialah bercakap sesuatu yang betul berlaku tetapi tidak disukai oleh orang yang diumpati. Kalau bercakap sesuatu yang tidak berlaku, itu fitnah namanya. Sama ada fitnah atau umpat, kedua-duanya dosa dan besar balasan buruknya di sisi ALLAH.

Lebih baik cakap direct kat tuan empunya badan. Cakap direct tak semestinya cakap dengan mulut depan-depan orang tu, boleh je bagi pesanan bertulis. Apapun, jauhi mengumpat! FULL STOP

Monday, September 19, 2011

Redha Dengan Qadha' dan Qadar

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha' dan qadar mempunyai 4 tingkatan:

Pertama : Al-‘Ilm (Pengetahuan)

Ertinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.

Kedua : Al-Kitabah (Penulisan)

Ertinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.

Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.

Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

“Pertama kali tatkala Allah Ta’ala menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : Tulislah!. Qalam itu berkata : “ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis?” Allah Ta’ala berfirman : “Tulislah apa saja yang akan terjadi!” maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”.

Ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak? beliau menjawab: “sudah ditetapkan”.

Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis? Beliaupun menjawab : “Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”.

Kemudian beliau menyebut firman Allah:

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5–10)

Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.

Ketiga : Al- Masyi'ah (Kehendak)

Ertinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”.
(Al–An’am : 112)

وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakinya”. (Al–Baqarah: 253)

Dalam ayat–ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya.

Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah:

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا

“Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap–tiap jiwa petunjuk (bagi) nya”. (As Sajdah: 13)

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. (Huud : 118)

Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya.

Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.

Keempat : Al–Khalq (Penciptaan)

Ertinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan Allah.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)

Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Ta’ala.

Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.

Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?

Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya.

Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.

Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Ta’ala.

Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.

Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah Ta’ala. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Ta’ala berfirman pada api itu:

يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. (Al Anbiya’: 69)

Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal afiat.

Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, kerana manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

PENUTUP

Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mu’min harus ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridha-Nya yaitu mengimani adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia usahakan dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan. Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya.

Sumber: http://abihumaid.wordpress.com/2011/03/03/memahami-qadha-dan-qadar-ketentuan-dan-takdir-allah/

Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah

Tambahan:

Bila ditimpa sesuatu yang menekan dan membuat kita mengeluh tentangnya sama ada kesusahan hidup, cabaran kerja dan apa jua dugaan, nasihat tentang redha' dengan qadha' dan qadar Allah menyedarkan diri dari kealpaan. Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuatu yang mampu dia hadapi. When Allah bring you to it, He will bring you through it!

Aku masih ingat nasihat seorang sahabat...apa yang Allah susun untuk kita adalah yang terbaik buat kita!

Tuesday, May 3, 2011

Setahun Dalam Kenangan - Seharum Haramain

Aku tidak mampu untuk menulis kenangan itu walaupun ada menyimpannya dalam catatan. Moga-moga Allah memberi kekuatan untuk aku menulis tentangnya. Buat sahabat-sahabat seperjuangan, sekadar berkongsi tulisan Ustaz Pahrol sempena setahun genap berlalu kenangan terindah bersama kalian....

19 April - 2 Mei 2010...SEHARUM HARAMAIN

(Tak bawa hard disk time tulis - tak dapat nak attach gambar lain)


Sumber: Ustaz Pahrol Md Juoi (http://genta-rasa.com)

Setiap kali musim haji, hati menjadi sayu. Usia hampir separuh abad, tetapi saya belum berkesempatan untuk menunaikannya. Namun tidak putus asa, saya bersama-sama lain umat Islam yang senasib akan terus berusaha, berazam dan berdoa. Berdikit-dikit dalam berbelanja, menyimpan tenaga, membina kesihatan, menyuburkan cinta, memperhaluskan adab dan akhlak sebagai bekal ke sana suatu hari nanti. Pasti. Insya-Allah.

Semoga saat kematian datang setelah kita sempat menunaikan Haji atau mati semasa kita sedang berusaha untuk menunaikannya di sana. Saya yakin, cinta Allah itu bukan hanya di akhir tujuan, tetapi sudah ada ketika kita melangkah memulakan perjalanan…

Kesempatan menunaikan umrah beberapa tahun yang lalu, saya anggap persediaan jiwa dan ilmu untuk menunaikan haji pada suatu hari nanti. Dengan sedikit pengalaman dan ilmu yang dikutip daripada orang-orang yang lebih arif serta pembacaan buku-buku yang baik, telah saya nukilkan beberapa kisah sebagai iktibar dari Makkah dan Madinah. Samada melalui artikel-artikel dalam majalah atau buku-buku yang pernah diterbitkan.

Bimbang, tujuan ibadah dipinggirkan. Risau alat dijadikan matlamat. Saya cuba melihati Haji dan Umrah pada sisi yang kekadang terlupa oleh segelintir saudara seIslam kita. Itu umpama selumbar yang menusuk di jari, atau pasir yang hinggap di mata… al hasil ibadah haji dan umrah menjadi kosong makna, kontang isi dan tidak berkesan untuk membina peribadi. Jangankan kesatuan peringkat ummah, kesatuan di peringkat ’rumah’ pun masih terkial-kial. Menurut kajian terbaru Jakim, penceraian dalam rumah tangga umat Islam di Malaysia makin parah!

Padahal tujuan rukun Islam yang didasari oleh rukun Iman itu adalah untuk membuahkan ihsan. Ihsan itu adalah ’kesempurnaan akhlak’ – tujuan Rasulullah saw diutuskan untuk manusia. Akhlak dengan Allah dan akhlak sesama manusia adalah buah pohon Islam yang berasal dari benih rukun Iman. Maka ibadah Haji begitulah – stesyen terakhir atau kemuncak ibadah yang sepatutnya mendekatkan kita kepada ‘out put’ akhir dalam beragama yakni akhlak.

Sayang, hasil ibadah umat Islam (khususnya Haji) masih terlalu rendah. Ibadah ritual ini masih jauh membina spiritual ummah. Masih terserlah ’kecintaan’ terhadap diri walaupun dalam langkah-langkah suci menuju Ilahi. Sedangkan akrab dengan Allah itu dicapai dengan intim sesama manusia.

Keredhaan Tuhan itu adalah di telapak tangan simiskin yang meminta, di perut sifakir yang kelaparan dan kehausan, di kantong siyatim yang tertinggal pendidikan dan pelajaran, di gubuk sijanda yang susah dihimpit kesusahan ataupun di saku pelajar yang kehabisan dana untuk menyambung pelajarannya. Sinisnya, ramai sihaji dan sihajah masih tega mengerjakan haji berkali-kali!

Lalu, di celah kekeliruan sendiri dan kecelaruan sesetengah anggota masyarakat ini… saya nukilkan kisah-kisah dari Tanah Suci ini. Bukan kisah misteri, ajaib atau karamah yang kerap menjadi bacaan popular tetapi hanya kisah-kisah biasa yang cuba diberi nilai didikan dan peringatan. Semoga hasrat itu tercapai. Lalu nikmatilah kisah-kisah dari Tanah Suci ini…

KISAH-KISAH DI TANAH SUCI

1) Mana integriti dan mana maruah?

Tanpa mempedulikan ocehannya saya terus menambah, ” aku ingin melihat ahli-ahli politik yang berulang-alik mengerjakan haji dan umrah bersikap jujur, telus dan integriti dalam ’politiking’nya.”

”Jangan mengharap terlalu tinggi,” ujar teman saya seakan memujuk.

”Itulah kaitan antara Tanah Suci dan ’Tanah Realiti’ yang kita huni sehari-hari. Haji itu kan ertinya menuju Allah? Jika benar Allah yang kita tuju di sana, maka itulah yang kita bawa kembali ke sini.”

”Itulah yang terbaik, tapi bukan senang…”

”Hakikat ihram itu bukan pada pakaian yang dipakai dalam jangka masa haji dan umrah sahaja, tetapi pakaian dalam seluruh kehidupan. Pakaian takwa, yang haram kita tinggalkan…”

Kebimbangan melihat ibadah haji dan umrah menjadi satu ’escapisme’ di kalangan umat Islam ada asasnya. Rasulullah SAW sendiri pernah mengingatkan bagaimana di akhir zaman, orang kaya, orang miskin, orang ternama melaksanakan ibadah itu bukan kerana Allah. Ulama tradisional seperti Imam Ghazali dan ulama kontemporari seperti Dr. Yusuf Al Qardhawi juga pernah mengingatkan dengan nada yang sama. Tujuan haji adalah untuk merubah diri. Yang lalai jadi ingat, yang fasik jadi taat. Tetapi kini seolah-olah haji dan umrah jadi ’mahar’ untuk meneruskan kefasiqan dalam gelar kesucian.

”Kau lihat sendiri, betapa ramai insan-insan insaf di Tanah Suci kembali lupa bila kembali ke tanah realiti… Malah komen-komen mereka seolah-olah bagai tak ada rasa bersalah langsung.”

”Mana kau tahu, mereka tu tak ada rasa bersalah?”

”Maaf, memang aku tak tahu. Sebab tu aku kata seolah-olah…”

Dalam hati saya terbayang bagaimana ada artis yang berazam untuk terus ’bergelek’ selepas umrah dan seribu satu macam lagi pengakuan yang ’aneh-aneh’ sama anehnya sewaktu mereka menceritakan pengalaman-pengalaman luar biasa ketika di Tanah Haram.

Saya teringat kuliah tarbiah tentang hakikat haji yang saya catatkan 3 tahun yang lalu. Betapa adanya manusia yang menjadikan amal kebajikan sebagai satu cara menghilangkan rasa berdosa. Rasa berdosa ketika menipu dan rasuah dalam perniagaan, cuba dihapuskan dengan bersedekah kepada fakir miskin. Rasa berdosa ketika bergaul bebas dan mendedahkan aurat dalam membina kerjaya cuba dilupakan dengan umrah dan hibah (sedekah). Rasa bersalah ketika mengamalkan politik wang cuba dilindungi dengan membina wakaf dan berderma.

Itu semua bukan perbuatan baik yang cuba memadamkan dosa untuk bertaubat tetapi perbuatan baik untuk menghilangkan rasa berdosa supaya dapat terus melakukan dosa dengan hati yang lega. Atau ‘topeng’ yang dipakai untuk memberi wajah baik pada imej muslim yang sering dicalarkan dengan sengaja. Ya, betapa banyak haji dan hajah yang meneruskan cara hidup yang tidak Islamik tanpa rasa segan silu lagi kerana mereka pun pernah ke Makkah. Rukun Islam mereka telah lengkap!

”Taubat, itu menyesal. Terus-terusan merasa berdosa. Rasa berdosa itu kemudian menggerakkan individu tersebut menempuh syarat-syarat taubat berikutnya. Yakni berhenti melakukan dosa, berazam tidak mengulanginya lagi dan bagi dosa sesama manusia wajib melunaskan semua kira-bicara soal harta, maruah, agama dan lain-lain.”

Masih terngiang-ngiang pesanan guru agama itu.

”Tetapi rasa berdosa yang cuba dihapuskan tidak begitu. Ia tidak menimbulkan penyesalan, bahkan ia umpama ’lesen’ yang memberi rasa aman, rasa seronok untuk meneruskan dosa. Seorang akan rasa bersih dalam kotor dosa yang menipu-daya.”

”Eh, kenapa kau diam saja? Apa buktinya mereka tidak ada rasa berdosa?” tempelak teman saya.

Ah, bagaimana ingin saya jelaskan tentang nasib ’orang lain’ ketika jiwa sendiri hakikatnya masih terpenjara di Tanah Realiti untuk terbang ke Tanah Suci. Teringat kata-kata hukama, ”seseorang sudah dikira berdosa apabila dia merasa tidak berdosa!”.

2) Tuhan berhutang?

Pulang daripada mengerjakan ibadah haji sesuatu yang aneh berlaku. Semacam tidak percaya teteapi itulah hakikatnya – dia sudah tidak rajin bersolat lagi. Culas. Kekadang buat, kekadang tidak. Bila ditanya, kenapa?

Dia menjawab, “Tuhan telah ‘berhutang’ banyak dengan saya.”

“Tuhan berhutang?”

“Ya, bukankah saya telah mendapat pahala dan fadilat yang berganda hasil mengerjakan solat di masjidil Haram dan Nabawi?”

Kisah ini saya dengar beberapa tahun yang lalu. Sengaja saya ketengahkan untuk mendpat iktibar daripadanya. Kita beribadah bukan untuk mengejar fadilat (walaupun itu tidak salah), tetapi yang lebih penting ialah untuk membina sifat ubudiyah (kehambaan) kepada Allah. Jika tidak, semakin banyak kita beribadah, kita akan jadi semakin angkuh dan jauh daripada Allah swt. Atas sifat ubudiyyah itu kita yang sepatutnya merasakan banyak hutang dengan Allah, bukan sebaliknya. Subhanallah!

3) Al Haj atau ‘Al um’

“Lama tak nampak ke mana?”

Dia diam. Kemudian dia batuk-batuk kecil.

“Hai, batuk pula? Tak sihat ke?”

“Beginilah… Sejak pulang dari umrah rasa tak sihat. Cuaca di sana berbeza betul dengan kita.”

Ohh, rupanya dia nak beritahu yang dia baru pulang mengerjakan umrah.

Inilah ragam manusia. Ada yang bangga dengan rumah besar, kereta menjalar… tetapi ada pula yang bangga dengan ‘ibadah’nya.Tidak kurang yang kecil hati jika kita tidak memanggil namanya dengan awalan Haji… Itu penting sangat. Sudah jadi macam status sosial. Pergi haji, al Haj. Pergi umrah… al Um? Ah, nampaknya masih ada segelintir yang terus terikat dengan amalan ‘ritual’ yang tidak meningkatkan tahap spiritual. Ego yang disalut ‘baju’ agama.

4) Kepentingan diri dalam ibadah.

Lebih separuh, menurut Dr. Yusuf Qardawi, daripada jemaah haji yang ke tanah suci pada setiap tahun adalah mereka yang mengerjakan haji bukan buat kali pertama. Kebanyakkannya kali kedua, ketiga, keempat… Menurut Qardawi lagi, dari segi aulawiyat kita sudah tersalah. Sedangkan masih ramai lagi umat Islam yang daif, yang perlukan bantuan kewangan di bidang pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Itu belum lagi dikira umat Islam yang ditimpa bencana seperti di Acheh dan Jogjakarta.

Mengapa terjadi demikian? Mengapa sukar sangat kita mengeluarkan biaya untuk membantu saudara semuslim kita berbanding biaya ibadah ‘personal’ kita? Jawabnya, kerana kita masih dibelenggu oleh kepentingan diri. Dalam ibadah pun kita masih memilih sesuatu yang memberi bermanfaat kepada diri berbanding ibadah yang merata manfaatnya kepada orang lain. Padahal kita dituntut agar akrab dengan Allah hasil eratnya hubungan kita dengan hamba-Nya.

5) Rasuah untuk mencium Hajarul Aswad?

“Hendak cium Hajarul Aswad?” bisiknya.

Siapa yang tidak ingin mencium ‘batu syurga’ yang sunat dan sunnah dilakukan itu.

“Kami boleh aturkan. Berikan sekian banyak upahnya… kami akan lindungi dan bawa awak untuk menciumnya.”

Jika setuju, anda akan dilindungi oleh kumpulan itu dan dibawa merempuh, menolak dan mencelah di tengah kesibokan jemaah untuk dapat mencium hajarul aswad.

Begitulah cerita seorang teman yang pulang dari Makkah satu ketika dulu. Ah, betapa sampai di depan Ka’abah pun masih ada ‘rasuah’. Untuk mendapat pahala sunat, kita mengorbankan segala yang wajib yakni menghormati, menjaga dan prihatin tentang nasib saudara seIslam yang kita rempuh, tolak dan sebagainya. Tak dapat mencium hajarul Aswad pun tak apa, asalkan kita menjaga kehormatan, ketenangan dan keselamatan saudara siislam kita. Bukankah begitu?

6) What you see?

What you see is what you get. Apa yang anda lihat, itu yang akan anda dapat. Justeru, kita mesti melihat sesuatu dengan tepat supaya apa yang kita dapat adalah yang tepat juga. Oleh kerana itu, dua orang yang melihat kaabah, tidak sama rasa, ilmu dan iktibar yang mereka dapat. Apa yang dilihat oleh seseorang berbeza dengan yang lain. Begitulah ketika hadir di Raudhah, melihat maqam Rasulullah, hijr Ismail dan sebagainya. Apa yang kita nampak?

Sayang, yang kita nampak kekadang hanyalah ‘objek’ bukan ‘karektor’ dan ‘Penciptanya’. Kita tidak nampak kecintaan Nabi Ibrahim, kesabaran Nabi Ismail dan kesetiaan Siti Hajar. Tidak terbayang segala kisah dan ibrah. Otak kiri (fakta – kajian) dan kanan (visual – imiginasi) kita tidak teransang. Sedangkan jika kita memandang secara yang tepat, pasti emosi kita akan tersentuh.

Dan pada ketika itulah Allah akan kurniakan rasa yang amat mendalam. Namun sekiranya kita kosong ilmu, buta sejarah, kontang fakta… hanya mengharap soal rasa semata-mata, ya mungkin kita akan menangis, tetapi hanya seketika. Bila pulang, ‘pulang’ jualah segala iktibar dan pengajaran. Sikap dan kelakuan tidak berubah. Kita tidak dapat apa-apa kerana kita tidak ‘nampak’ apa-apa!

7) Hatinya telah pergi

Bila malam menjelang dia membuka buku ‘Panduan Haji dan Umrah’nya. Sudah kusam buku itu diulang baca. Ditatap berkali-kali. Sudah hafal segala doa dan kata. Sekali-sekala dia merenung beg besar yang telah dibelinya. Air mata seakan mengalir ketika tangannya meramas pakaian umarh yang masih baru dan segar baunya. Gelang tangan yang disediakan itu dikenakan berkali-kali. Ah, 4 bulan lagi… rasa tak sabar. Ingin segera menyahut lambaian kaabah.

Pantang ada orang bertanya, bila nak pergi? Dengan mata yang berkaca-kaca, mulut yang fasih dan yang ceria dia mula bercerita. Bukan kerana bangga, tetapi kerana keghairahannya. Sungguh, dia telah ‘pergi’ sebelum pergi. Hatinya telah bersedia. Ah, sukar membayangkan bagaimana jika dia mati sebelum pergi? Apakah akan terubat kerinduannya.

Teringat makna haji – ertinya menuju. Haji ertinya menuju Allah, dan bukankah kematian itu juga ertinya menuju Allah – pulang ke rahmatullah? Oh, betapa ramai yang belum pergi tetapi hatinya telah pergi. Dan betapa ramai pula yang telah pergi tetapi hatinya belum? Mudah-mudahan kita tergolong dikalangan mereka yang telah pergi dengan membawa hatinya sekali…

Dia tak pernah kembali

Ah, berbeza sungguh. Tuturkatanya berubah. Tingkahlakunya tidak semacam dulu. Cakap tingginya telah merendah. Dia berubah. Begitu ajaib kuasa Allah – Tuhan yang pernah merubah Umar, Hamzah dan Ikrimah. Mampukah kita menjadi ‘sidia’ itu? Mengapa kita beranggpan hanya para sahabat sahaja yang mampu berubah? Kita juga mampu, asalkan kena sentuhannya, cara dan hidayahnya.

Umar yang asalnya penumpah darah, Hamzah yang pemarah, Ikrimah yang ego segalanya ‘lebur’ dan ‘luntur’ di persada hidayah. Melihat Kaabah, ertinya melihat kebesaran Allah. Ihram, membuang ‘keakuan’ memakai ‘kekitaan’.Tawaf, yang mendekat tetapi tidak bersatu.

Arafah, lambang ‘arif’ dengan syariatullah dan sunnatullah. Saie, ‘penasaran’ dipacu dan diburu antara khauf (takut) dan raja’ (harap). Jangan bersisir, jangan berwangi-wangian, jangan menyakiti, jangan merosak… kau adalah pelarian, kau bagaikan penasaran memburu cinta Allah!

9) Sajak ‘hajj’ Ibn Mubarak

Ketika dia melihat siibu memasak bangkai burung itu

Dia tersentak lalu berkata:

Itu haram dimakan untukmu dan keluarga

Namun siibu menjawab hiba,

ia telah halal untuk anak-anakku

Inilah makanan yang ada…

Buat menyambung nyawa

Lalu Ibn Mubarak pun menyerahkan wang simpanan

Wahai ibu… wangku ini penebus deritamu

Alangkah gembira keluarga itu menerimanya

Namun safar Ibn Mubarak tertangguh lagi…

Wang biayanya sudah tiada

Diberikan segalanya untuk yang lara

Ah, tiba-tiba dialog malaikat menjadi lagenda

Tahun itu haji Ibn Mubarak yang paling tinggi nilainya

Walaupun dia belum mencecah kakinya di Makkah

Namun hati tulusnya bagaikan telah mengucup Ka’abah…

Bukankah haji itu menuju Allah?

Sesungguhnya: Kembara Ibn Mubarak telah sampai ke situ…

Oleh tulus hatinya membantu siibu!


10) Tanah Suci dan Tanah realiti

Dosa akan menimbulkan rasa resah di dalam hati. Rasa itu adalah benih yang disemai secara tabii oleh Allah untuk manusia kembali taubat kepada-Nya. Maksudnya, rasa berdosa itulah hakikatnya ‘penyesalan’ yang merupakan pra-syarat taubat yang pertama. Hakikat ini yang mendasari perbualan saya petang itu.

“Rasa tenang apabila melihat Kaabah,” ujar seorang korporat yang sudah tiga kali mengerjakan haji. Setakat umrah, sudah tidak dapat dikira.

“Tidak dapat dibayangkan betapa syahdunya rasa hati ini ketika mengucup Hajarul Aswad,” akui seorang artis ketika menceritakan pengalamannya di Tanah Suci.

“Dapat sujud di masjid Nabawi adalah detik paling sukar saya lupakan. Terasa benar akrabnya Nabi Muhammad SAW di dalam diri ini,” tambah seorang ahli politik.

Inilah berita dan cerita yang sering dimuatkan di dada akhbar dan majalah. Alangkah bahagia dan tenangnya kembara di bumi Haramain.

“Kenapa? Kau kelihatan sinis?” terjah seorang teman.

Saya diam. Payah hendak diluahkan, walaupun rasa itu telah terpendam sekian lama.

”Kau tidak percaya?” jolok teman itu lagi. Tangannya masih memegang keratan-keratan akhbar dan majalah yang memaparkan cerita ibadah haji di kalangan selebriti Tanah Air. Kisah ’orang-orang besar’ yang terasa kerdil di hadapan Allah Yang Maha Besar di Makkah dan Madinah.

”Aku rasa jika benar begitu baguslah,” balas saya pendek.

”Kenapa? Kau ragu?”

”Ini soal hati. Kita tak mampu menerobos jauh ke dalam jiwa manusia,” balas saya perlahan.

”Apalagi nak baca hati orang, hati sendiri pun sering kita tersasar menilainya,” tambah saya lagi.

”Tak salah, kalau kita mengulas sebagai bahan tarbiah… untuk mendidik, bukan mengkritik,” giatnya agar saya terpancing berkata-kata.

”Rasa-rasa hati di Tanah Suci tu memang baik, tetapi yang lebih penting ialah apa kesannya ketika kembali ke ’Tanah Realiti’…”

”Wah, kau ini ada sahaja istilah baru. Apa yang kau maksudkan?”

Sekarang saya tidak pasti siapa yang ’terpancing’ dalam perbualan ini saya atau dia?

”Aku impikan masyarakat yang bersih dari bisnes yang dibauri unsur riba, penindasan, ’gharar’ dan tipu daya oleh ahli perniagaan yang bergelar haji!” tiba-tiba saya luahkan apa yang selama ini terpendam di dada.

”Bahkan kita merindui artis-artis yang bergelar haji atau hajah yang dapat membersihkan dunia hiburan dari pergaulan bebas, pendedahan aurat dan lain-lain unsur hedonisme yang melalaikan!” ujar saya lagi.

”Kau terlalu idealis. Itu hanya satu utopia di persada impian yang fatamorgana…” cebik teman saya itu.

”Kenapa, itu terlalu sukar?”

”Manusia tidak mampu berubah sekelip mata,” tambahnya lagi.

11) Meskipun berkali-kali haji

Kisah yang menyayat hati ini berlaku beberapa tahun yang lalu. Seorang kaya yang bergelar haji mati dalam keadaan yang menyedihkan sekali. Pada tahun-tahun terakhir menjelang kematiannya, dia hidup begitu menderita dan terseksa sekali.

“Kau maafkanlah kesalahannya, “ rayu saya kepada adik.

Saya tahu adik saya begitu kecewa dengan sikap haji yang pernah menjadi majikannya.

“Dah maafkan bang,” ujar adik saya perlahan.

Saya masih ingat betapa marahnya dia kepada Pak Haji majikannya itu. Setelah bekerja hampir setahun, gaji yang diberikannya kurang daripada apa yang dijanjikan dahulu. Adik saya tetap bersabar. Dengan harapan, gaji yang tidak sampai separuh itu akan dibayar penuh pada satu hari nanti. Namun malang, hari yang dinantikannya tidak pernah tiba. Hendak dikatakan perniagaannya rugi tidak juga… Perniagaannya bertambah maju. Pekerjanya makin bertambah. Dan yang paling ketara setiap tahun dia akan pergi mengerjakan hati. Entah kali ke berapa, sudah tidak dapat dihitung lagi.

Mula-mula adik saya bersangka baik. Mungkin majikannya ada strategi tersendiri. Dia setia menanti. Namun segala-galanya terbongkar apabila rakan kongsi perniagaan Pak Haji itu menemuinya pada satu hari.

“Bulan depan saya akan mengerjakan haji. Saya minta maaf dan ini separuh daripada gaji-gaji kamu yang tidak dibayar selama ini,” katanya kepada adik saya.

“Maksud tuan?” tanya adik saya kehairanan.

“Saya rasa berdosa kerana turut terbabit tidak membayar gaji kamu,” kata rakan kongsi niaga Pak Haji tersebut.

“Kalau begitu mengapa separuh sahaja?” tanya adik saya lagi setelah mengira wang diberikan.

“Separuh lagi kamu mintalah kepada Pak Haji. Bukankah kami berkongsi perniagaan ini. Tidak adillah kalau saya seorang sahaja yang membayarnya,” kata rakan niaga Pak Haji itu secara berterus-terang.

Adik saya malu alah untuk menuntut baki gaji tersebut. Maklumlah sudah beberapa kali meminta tetapi ditolak dengan pelbagai alasan. Memandangkan Pak Haji itu juga turut akan mengerjakan haji buat sekian kalinya pada tahun itu, adik saya menyangka beliau akan mengambil sikap yang serupa dengan rakan niaganya.

Tunggu punya tunggu, harapan adik saya tetap tidak kesampaian. Pulang daripada Makkah tahun itu dan pulang lagi pada tahun-tahun berikutnya tetap membuahkan natijah yang sama. Ketika adik saya memohon berhenti kerja sekalipun baki gajinya tetap tidak dilangsaikan. Pak haji tersebut tetap selamba dengan sikapnya. Teganya dia, berulang alik ke Makkah tetapi menzalimi pekerjanya sendiri. Apakah dia sudah tidak mengenal lagi keutamaan yang wajib berbanding dengan yang sunat. Pada hal mengabaikan hak sesama manusia itu kekadang lebih padah hukumannya daripada mengabaikan hak Allah.

“Betul kau telah reda?”

“Insya-Allah bang. Tetapi masalahnya bukan saya seorang sahaja yang mengalami keadaan begitu, ramai lagi pekerja-pekerjanya yang lain menerima nasib yang sama.”

Saya tunduk. Sedih. Pak Haji telah diserang “stroke” yang berat hingga badannya terketar-ketar dan hilang daya pertuturan dan lumpuh separuh badan. Dan berbulan-bulan kemudian, dia pergi buat selama-selamanya. Semoga Allah merahmati rohnya. Mana tahu dia bukan sengaja… dia hanya tidak tahu! Mungkin.

12) Sah tetapi tidak mabrur.

Pernahkah anda dikejutkan oleh sikap seseorang yang baru pulang mengerjakan haji? Hasil pergaulan dengan masyarakat, ramai yang pernah mengalami kejutan apabila kawan atau saudara mereka yang baru pulang dari Makkah telah berubah sikap. Bukan ke arah kebaikan tetapi sebaliknya. Jika dahulu tutur katanya lembut dan merendah diri tetapi kini bertukar sama sekali.

Benarlah seperti apa yang pernah saya pelajari dahulu, ego itu bermacam ragam. Ada orang ego dengan harta dan kuasa, tetapi ada juga yang ego dengan amal dan “pahala”nya. Padahal ibadah itu (termasuk haji) umpama pokok, buahnya adalah akhlak. Apalah gunanya pokok yang tidak berbuah?

Minggu lalu berlaku satu dialog ringkas antara saya dan sepupu saya selepas mengerjakan solat tarawih di masjid berhampiran rumah kami.

“Ibadah haji hanyalah satu proses. Yang dicari ialah “output”nya,” kata saya.

“Maksud abang kesan haji?”

“Ya. Daripada output itulah dapat diukur apakah haji itu mabrur atau tidak,” jelas saya lagi.

“Apakah kesan haji?” tanyanya lagi.

“Takwa dengan Allah. Berakhlak sesama manusia.”

“Siapa yang mampu mengukur takwa dan akhlak?”

“Payah sekali. Terlalu maknawi. Tetapi sekadar boleh diagak-agak.”

“Oleh siapa?”

“Oleh yang empunya diri.”

“Bagaimana?”

“Melalui rasa hati.”

“Bagaimana?”

“Bila terasa ringan melakukan kebaikan, berat melakukan kejahatan. Mudah merendah diri. Mudah rasa berdosa dan segera bertaubat. Tutur kata menjadi lembut dan senang sekali untuk bersedekah,” saya menceritakan semula apa yang pernah dipelajari dahulu.

“Kita sepatutnya bermuhasabah kenapa ada orang yang begitu berbangga bercerita tentang beberapa kali dia mengerjakan haji dan umrah tetapi perangainya tidak pernah berubah… Masih tega menzalimi, mengumpat dan menipu orang lain.”

“Sahkah haji yang begitu?” tanyanya untuk mendapat kepastian.

“Jika tepat syarat dan segala rukunnya memang sah, tetapi tidak mabrur!”

Setelah dialog itu berakhir, dalam hati saya terpahat satu kesimpulan:

Janganlah hendaknya diheboh-hebohkan sudah berapa kali kita telah melaksanakan haji dan umrah tetapi tanyalah diri sendiri, sudahkah akhlak kita bertambah baik setelah itu? Apalah gunanya memiliki beratus-ratus pokok buah-buahan tetapi sebatang pun tidak menghasilkan buah?

13) Di Hajarul aswad itu…

Tolak menolak begitu hebat. Rebut merebut begitu dahsyat. Acap kali berlaku pertengkaran. Kekasaran, siku menyiku usah dikatakan lagi. Sudah biasa. Ironinya, itu semua konon katanya ingin mendapat keredaan Allah – ingin mencium batu syurga, Hajarul aswad itu. Mungkin jika Ansar dan Muhajirin berada di situ melihat gelagat umat ini, mereka akan sedih berbaur hairan. Apa tidaknya, ketika persaudaraan mereka dikukuhkan sebaik pasca peristiwa hijrah, mereka saling berkorban demi iman dan Islam.

Jika ada di antara Ansar punya dua bidang tanah, diserah satunya kepada saudara muhajirinnya. Begitu juga yang punya dua rumah. Yang punya satu, rela dikongsi bersama . Harta dan segala milik dibelah dua. Malah yang punya dua isteri, rela diceraikan untuk diberikan kepada kaum muhajirin yang tidak punya apa, hilang segala-galanya apabila berhijrah dari Makkah ke Madinah. Itu semua sudah tercatat dalam sejarah.

Sudah menjadi teladan yang indah yang dinukilkan dalam kitab Hayatus Sahabah, bagaimana dalam satu peperangan telah terjadi peristiwa yang indah. Di kalangan tentera Islam saling menolak untuk meminum air walaupun terlalu dahaga kerana mengutamakan sahabat seperjuangannya yang lain. Pada saat yang sangat kritikal pun ukhuwah terus dipertahankan kerana itulah buah iman. Iman kukuh, ukhuwah teguh.

Namun sedih dan malang sekali, kini… di hadapan Kaabah, Muslim sesama Muslim saling bertolak-tolakkan, meluntur persaudaraan, meleburkan iman, hanya untuk mendapat barakah sunat mencium batu syurga itu. Ukhuwah itu wajib, mencium Hajarul Aswad itu walaupun dituntut tetapi hanya sunat. Jika tidak berkesempatan, cukuplah ber”istilam”, melambai dan mengucup tangan sambil mengucapkan, “bismillahi Allah hu Akbar!” Jika ikhlas, itu pun sudah memadai untuk mendapat barakah Hajarul Aswad.

Semua ini mengingatkan saya kepada perbualan dengan seorang kenalan sebaik pulang mengerjakan umrah tidak beberapa lama dahulu.

“Kau dapat menciumnya?” dia bertanya, senyumnya sinis sekali.

Ketika saya diam.

“Aku dulu dapat menciumnya lebih tiga kali,” dia bersuara apabila melihat saya diam.

“Bagaimana kau boleh dapat peluang macam tu?”

“Itulah ajaibnya. Dah memang rezeki aku… semacam satu lorong khas disediakan untuk aku untuk menciumnya…”

Dan dia terus bercerita tentang “keajaibannya”.

Saya tersenyum. Mengapa kekadang kita mencari yang “ajaib-ajaib” sahaja di Makkah dan Madinah. Kemudian kejadian luar biasa itu dijadikan semacam penanda aras pada status diri dalam beragama. Seorang kawan, asyik bercerita bagaimana dia akan mendapat gelas air zamzam pemberian orang berjubah putih setiap kali selepas bertawaf. Dia seolah-olah merasakan orang berjubah putih itu adalah “insan luar biasa” yang mengiktiraf akan kehebatannya.

Pada hal, rasa saya, kalau dialah yang memberi gelas air zamzam kepada orang lain selepas orang lain itu penat bertawaf, itu lebih luar biasa. Bukankah tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima?

14) Walau malu tetap meminta Syurga

Entah kenapa pada malam itu taman itu lapang sekali. Tiada kesibukan, kurang pergerakan. Semua tetamu seakan berteleku kaku dalam zikir dan fikir. Seseketika bunyi dengus nafas dihela perlahan bersama rintihan. Ada suara esakan tangis, namun perlahan cuma. Bunyi rintihan yang tertahan bersama alunan bacaan Al Quran bagai melodi yang sungguh mengasyikkan.

Aku masuk ke dalam taman itu bagai sandera yang pasrah. Kubawa hatiku yang rawan, fikiran yang kelelahan dan nafsu yang masih liar. Aku tidak mahu dan mampu berpura-pura lagi. Inilah diriku wahai Ilahi… Tidak punya kesucian, tidak memiliki keindahan yang dapat aku persembahan. Inilah diriku yang penuh cela dan noda. Tanpa dapat berselindung, KAU Maha tahu segala.

Mengapa takdirnya aku ke sini? Ke daerah suci di bawah bayu syurga. Dingin, nyaman dan tenang, istirahat seketika di jalan mujahadah ku yang derita. Bukan kerana kebaikanku, tetapi kerana kasih sayang-Mu, yang membawa aku di sini. Kau izinkan kaki dan hati yang berdosa ini singgah seketika bagi menatap jalur-jalur cahaya dalam relung diri yang gelap gelita.

Benar kata-Mu seperti yang ku dengar sejak dulu, keampunan-Mu sentiasa mendahului murka-Mu.

Ku cecah dahi di hamparan hijau itu. Seakan ku tuang segala kabut dan serabut fikrah yang kusut. Ku nafikan licik dan strategik segala yang pernah berdetik di minda ini. Fikrah inilah yang mencipta dosa demi dosa. Sesah akal ini ya Allah, palu akal ini ya Rahman, dengan belantan “inzar” dan tazkirah-Mu. Tuhan, kembalikanlah biduk akal ku ke pengkalan takdir-Mu. Fikrah sudah letih belayar tanpa arah.

Sujud dan rukuk aku di sana. Menelanjangi segala aib dan dosa. Tanpa aku mengadu, KAU pun tahu. Namun, itulah wadah tanda menyerah, aku “Abdullah”… aku hamba Allah. Aku pasrah. Aku kalah.

Cintaku sekelumit cuma, hampir tiada. Saat ini aku hanya berbekal harapan. Benteng terakhirku hanya rasa tidak berputus asa. Kata kekasih-kekasih-Mu selalu memujuk aku: Kejahatan yang menyebabkan engkau menangis, lebih baik daripada kebaikan yang menimbulkan rasa takbur.

Dalam rasa malu, takut dan harap, masih aku memberanikan diri untuk meminta lagi. Lalu di malam itu, di Raudah itu ku catatkan gugusan permintaan. Satu demi satu melalui puisi hati. Kubiarkan pena menari, mencari makna dan kata hanya berpandukan rasa. Malam itu walaupun malu aku tetap meminta syurga Pendahulu bicara hanya ini:

Ya Latif,

Berikan aku hati yang lain

Yakni hati yang lebih yakin

Hati yang lunak

… agar mampu mencintai-MU

Malam itu adalah malam yang paling panjang dalam sejarah hidup ku. Dapat ku luahkan segala dan semua. Seakan tercabut “tulang” yang mengait dalam sanubari sekian lama. Namun tiba jua saat berpisah, aku terpaksa melangkah. Pamitan pun berlaku dan gamitan pun berlalu. Sayu benar terasa ketika hati ku terus merayu:

Aku dambakan kebaikan…

yang melahirkan kebaikan

Aku pohon ketenangan

…yang memberikan ketenangan.

Pinggirkan segala sengketa

hampirkan semua cinta

tanpa dendam…

tanpa prasangka

Jika benar apa yang ku dambakan di Raudah itu

…hanyalah Allah!

Sunday, March 20, 2011

Begitulah Yusuf Alaihissalam


Ada sesuatu tentang Yusuf a.s. yang aku rasa seakan-akan baru pertama kali diingatkan tentangnya.

Baginda disebut sebagai ghulam (budak) yang bermakna usianya sekitar belasan tahun. Usia yang begitu kita boleh anggap masih mentah, memerlukan perhatian keluarga dan biasanya tidak mampu bertindak dengan matang.

Akan tetapi, dalam keadaan begitulah, baginda dipisahkan dari keluarga terutama ayah yang sangat mengasihinya dan hanya berjumpa kembali setelah baginda dewasa dan menjadi pemimpin besar Mesir. Suatu tempoh berpisah yang sangat panjang. Ayahnya pula buta mata kerana sedih mengenangkan Yusuf. Bukan setakat dipisahkan, baginda juga dikhianati oleh adik-beradiknya kerana hasad dengki.

Hasad dengkilah yang akhirnya mengakibatkan Nabi Adam dan isterinya dikeluarkan daripada syurga.

Hasad dengki jugalah yang menyebabkan pembunuhan pertama di muka bumi Allah s.w.t. ini.

Dan hasad dengkilah yang banyak menimbulkan persengketaan dalam masyarakat kita hari ini.

Syed Qutb mengulas keadaan Yusuf a.s. itu dengan satu kesimpulan: Yusuf a.s. benar-benar berserah diri kepada Allah s.w.t.

Kemudian datang pula cabaran yang berat iaitu godaan isteri pembesar Mesir yang diceritakan dengan panjang lebar dalam Al-Quran.

Cabaran yang dihadapi oleh Yusuf a.s. sebenarnya banyak yang melanda manusia sekarang terutama sekali dalam masalah nafsu.

Ada satu lagi pengajaran yang Allah nak tunjuk melalui kisah Yusuf a.s. Baginda tidak membalas dendam kepada adik-beradiknya walaupun berkuasa, berpeluang dan sangat mengenali mereka. Itulah lambang integriti dan profesionalisme seorang pemimpin - tidak menyalahgunakan kuasa dan tidak terpengaruh dengan emosi dalam bertindak.

Aku akhiri kisah Yusuf ini dengan beberapa kata-kata yang Allah s.w.t. rakamkan di dalam Al-Quran, yang boleh kita guna untuk ingatkan diri kita:


1) Ma’aadzallah (Aku berlindung kepada Allah)

“Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.

Surah Yusuf,12: Ayat 23


2) Fasobrun jamiil (Bersabar itulah yang terbaik)

Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Ya’kub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu. Maka, hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah sahaja memohon pertolongan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”

Surah Yusuf, 12: Ayat 18


3) Penjara lebih aku sukai

Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, nescaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh”.

Surah Yusuf, 12: Ayat 33


5) Nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan

Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), kerana sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Surah Yusuf, 12: Ayat 53


6) Innamaa asykuu batsii wa huznii ilallah (Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku)

Dia (Ya’kub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Surah Yusuf, 12: Ayat 86


Wallahu a’lam.

Thursday, January 27, 2011

Rangkum!

Dah lama tak menulis artikel sendiri di blog ni. Asyik copy paste dan letak video je. Nak kata sibuk, takdela mane pun. Sekarang ni rutin kerja macam biasa. Tengah duk kat Farmasi Bekalan Wad yang urus bekalan ubat untuk wad-wad di hospital. Tugas utama...screening atau semak preskripsi yang doktor tulis. Balik petang biasanya lebih kurang pukul 6 sampai la kat rumah. Dah banyak kali hampir terlelap dalam kereta. Bahaya betul. Sebab tulah setiap kali berhenti kat lampu isyarat, aku free gear dan tarikh hand break. Langkah pencegahan takut-takut terlelap. Radio tak usah cerita la, kuat juga volume. Awal-awal kerja dulu rajin la jugak riadhah. Sekarang ni jadi malas plak. Macam mana ni kerja bidang kesihatan. Biasa la macam tu. Ahli farmasi pun kadang-kadang orang yang agak susah nak makan ubat.

....................

Bagi kawan-kawan kenalan Kuala Kubu, apa cerita sekarang? Sejak meninggalkan Ampang Pecah, tak pernah lagi aku menjenguk kembali tempat tu. Bila dah kerja ni, teringat juga projek mega yang pernah dibincangkan dulu. Rasanya sekarang dah ramai dari kalangan kita yang kerja. Apapun, core business kita yang paling utama tetap kena jadi yang paling utama. Aku pun segan kalau bercakap pasal ni, sebab cabaran besar. Dari dulu sampai sekarang, aku hanya boleh rasa suasana seperti dulu bila jumpa dengan orang yang memang duduk dalam bidang tu. Waktu tu la, malu muka beb. Dulu waktu baru-baru keluar dari sana, biasanya orang duk sebut, berapa jam atau berapa juzu' mengulang? Aku akui, cabarannya sangat besar...Bagi aku, seperti yang aku tulis tadi, kekuatan tu ada bila jumpa dengan mereka yang benar-benar gigih dalam bidang tu, ditambah dengan sejauh mana kehendak dan usaha kita sendiri.

...................

"Dalam hidup, kita mesti ada matlamat dan perancangan", jelas aku kepada budak-budak tu. Nasihat tu terkena atas diri sendiri. Ibarat pelempang! Ada atau tak ada, itu satu perkara. Melaksanakan apa yang ada, itu juga satu perkara, tapi banyak karenah dan penyedap hatinya yang diberi oleh diri sendiri. Dalam program itu, aku buat persediaan untuk bercakap dengan budak-budak peringkat sekolah menengah dan belia, tetapi bila yang berada di hadapan, majoritinya budak-budak sekolah rendah + tahap 1 plak tu. "Ya Allah ,camane nak terang pasal menda ni kat budak-budak kecil ni?". "Okei, abang nak semua tulis cita-cita masing-masing dan kenapa nak jadi camtu?". Akhirnya aku gunakan cita-cita sebagai contoh untuk jelaskan tentang matlamat. "Petang-petang selalu buat apa?" tanya aku pada seorang budak. "Main basikal" jawabnya. "Haa, sebelum pergi main, ada tak ajak kawan? Beritahu tak pukul berapa, nak round kat mana? Tulah perancangan...Hari tu, aku terpaksa menjadi budak-budak. Biarlah mereka kenal dengan perkataan-perkataan itu dahulu, kelak mereka akan lebih memahaminya.

...............

Pernah dengar nama Ustaz Hasrizal Abdul Jamil, Ustaz Zaharuddin Abdul Rahman dan Ustaz Pahrol Mohd Juoi? Kalau tak pernah, atau macam pernah, aku cadangkan korang semua pergi la ke laman web mereka. Banyak benda yang boleh kita belajar untuk hidup dengan tenang dan berjaya di dunia ni dan akhirat insya Allah.

Ustaz Hasrizal - www.saifulislam.com
Ustaz Zaharuddin - www.zaharuddin.net
Ustaz Pahrol - www.genta-rasa.com
..............

Jumpa lagi!