Thursday, September 22, 2011
Monday, September 19, 2011
Redha Dengan Qadha' dan Qadar
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha' dan qadar mempunyai 4 tingkatan:
Pertama : Al-‘Ilm (Pengetahuan)
Ertinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua : Al-Kitabah (Penulisan)
Ertinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)
Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.
Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Pertama kali tatkala Allah Ta’ala menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : Tulislah!. Qalam itu berkata : “ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis?” Allah Ta’ala berfirman : “Tulislah apa saja yang akan terjadi!” maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”.
Ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak? beliau menjawab: “sudah ditetapkan”.
Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis? Beliaupun menjawab : “Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”.
Kemudian beliau menyebut firman Allah:
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5–10)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.
Ketiga : Al- Masyi'ah (Kehendak)
Ertinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”.
(Al–An’am : 112)
وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakinya”. (Al–Baqarah: 253)
Dalam ayat–ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya.
Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
“Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap–tiap jiwa petunjuk (bagi) nya”. (As Sajdah: 13)
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. (Huud : 118)
Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya.
Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
Keempat : Al–Khalq (Penciptaan)
Ertinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan Allah.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Ta’ala.
Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?
Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Ta’ala.
Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.
Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah Ta’ala. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Ta’ala berfirman pada api itu:
يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. (Al Anbiya’: 69)
Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal afiat.
Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, kerana manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.
PENUTUP
Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mu’min harus ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridha-Nya yaitu mengimani adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia usahakan dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan. Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya.
Sumber: http://abihumaid.wordpress.com/2011/03/03/memahami-qadha-dan-qadar-ketentuan-dan-takdir-allah/
Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah
Tambahan:
Bila ditimpa sesuatu yang menekan dan membuat kita mengeluh tentangnya sama ada kesusahan hidup, cabaran kerja dan apa jua dugaan, nasihat tentang redha' dengan qadha' dan qadar Allah menyedarkan diri dari kealpaan. Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuatu yang mampu dia hadapi. When Allah bring you to it, He will bring you through it!
Aku masih ingat nasihat seorang sahabat...apa yang Allah susun untuk kita adalah yang terbaik buat kita!
Tambahan:
Bila ditimpa sesuatu yang menekan dan membuat kita mengeluh tentangnya sama ada kesusahan hidup, cabaran kerja dan apa jua dugaan, nasihat tentang redha' dengan qadha' dan qadar Allah menyedarkan diri dari kealpaan. Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuatu yang mampu dia hadapi. When Allah bring you to it, He will bring you through it!
Aku masih ingat nasihat seorang sahabat...apa yang Allah susun untuk kita adalah yang terbaik buat kita!
Tuesday, September 13, 2011
Buat Ibu, Isteri dan Kakak
Dipetik dari Nota Hati Seorang Lelaki oleh Ustaz Pahrol Md Juoi
Bagi saya, bertemu dengannya bagai bertemu dengan seorang pendita. Lidahnya petah menuturkan kata-kata yang sarat dengan makna. Justeru, dalam sela-sela waktu yang terluang, saya terus setia mengunjunginya. Pada saya, dia insan istimewa. Biarlah saya singkatkan panggilannya dengan gelaran Tok Wan sahaja (begitulah saya memanggilnya sejak dulu).
Masih teringat kata-katanya sewaktu saya meminta nasihat tentang panduan mendidik anak perempuan. Maklumlah, majoriti anak-anak saya lelaki. Adakalanya bagai ketandusan idea dan cara untuk berdepan dengan karenah anak perempuan.
"Perlu banyak meraikan".
Begitulah kata Tok Wan apabila ditanya tentang tip mendidik anak perempuan.
"Meraikan bagaimana?"
"Raikan mereka dengan kata-kata, belaian dan pemberian. Itu caranya."
"Maksudnya?"
"Hargai pandangan, kegembiraan, kesedihan, kejayaan dan kegagalannya. Selalu ucapkan tahniah, takziah, pujian dan pujukan. Pada ketika yang sesuai, berilah hadiah".
"Kenapa Tok Wan?"
"Umumnya perempuan makhluk perasaan berbanding lelaki makhluk akal. Pendekatan meraikan lebih berkesan bila berdepan dengan perasaan. Pendekatan ini lebih menyentuh dan berkesan."
"Itu pendekatannya, bagaimana pula prinsip asasnya?"
"Wah, kau bertanya macamlah Tok Wan ni seorang profesor!" Tok Wan bergurau. Sejenak kemudian, sambil tersenyum dia berkata, "Itu kena bayangkan...bakal isteri. Kemudian, bakal ibu!"
Wah, Tok Wan dah mula bersilat kata! Saya perlu lebih kritis menyoalnya.
"Bayangkan bakal isteri? Isteri saya?" usik saya.
"Anak perempuan kita bakal seorang isteri. Jadi, bayangkan bagaimana sifat seorang isteri sejati. Itulah "end in mind" yang perlu sewaktu kita mendidik anak perempuan," jelas Tok Wan yang mempunyai latar belakang pendidikan agama dan Barat itu.
Belum sempat saya mencelah, soalan Tok Wan mula menerjah. "Apa yang kau inginkan dari seorang isteri?"
"Ketaatan," balas saya cepat.
"Lalu didiklah anak perempuan tentang ketaatan. Latih agar dia patuh pada perintah yang baik. Apa lagi?"
"Malu".
"Didik supaya dia mengekalkan rasa malu pada tempat dan ketikanya. Latih dia sentiasa menjaga aurat, tidak meninggikan suara dan tidak lasak pada gerak fizikalnya. Ajar erti maruah dan harga diri. Lagi?"
"Cantik..."
"Wah, tak lupa ya...Latih supaya dia menjaga kecantikan tingkah laku, wajah, pakaian, tempat tinggal, bilik dan lain-lain. Biar dia pandai menjaga kekemasan, kecantikan dan keindahan. Biar dia peka dengan nilai-nilai estetika. Lagi?"
Saya diam. Dalam ruang fikiran tergambar isteri saya - ibu anak perempuan saya.
"Kau lupa agaknya..." usik Tok Wan.
"Anak perempuan mesti dibiasakan berada di rumah. Bukan bermakna dia tidak boleh keluar, tapi biasakan dia suka di rumah. Rumah adalah gelanggang wanita. Ruang itu kecil tapi besar peranannya. Ketika suami keluar, isterilah pemimpin anak-anak dan pelindung hartanya.
"Ini payah sikit Tok Wan, sekarang ni perempuan dah luas gelanggangnya!"
"Ah, kekadang yang luas hanya gelanggangnya, tapi kecil peranannya. Sedangkan di rumah walaupun kecil gelanggangnya, tapi amat besar peranannya. Pernah dengar madah, tangan yang mengayun buaian boleh menggoncang dunia?"
"Tadi Tok Wan kata, kena bayangkan juga bakal ibu."
"Apa yang paling kau hargai daripada seorang ibu?"
"Kasih sayangnya."
"Didiklah anak perempuan agar bersifat pengasih. Pengasih dengan adiknya, abang, kakak, binatang peliharaan dan sebagainya. Sebab tu anak perempuan digalakaan bermain dengan anak patung. Itu menyuburkan rasa kasih sayang kepada bayi. Lagi?"
"Sabar"
"Seorang ibu perlu sabar; sabar menanggung perit kehamilan, sakit melahirkan, menjaga sakit-demam, ragam dan karenah anak. Tanamkan sifat sabar anak perempuan dalam menanggung kesakitan, keletihan, kekecewaan dan sebagainya;."
"Mana lebih payah, didik anak perempuan atau anak lelaki?" tanya saya. Dia senyum sinis. Terasa bodoh pula menyoal begitu.
"Soalan tu tak betul! Sepatutnya soalannya begini, ada beza tak antara mendidik anak lelaki dengan anak perempuan? Senang dan susah ini terlalu relatif dan subjektif sifatnya."
"Beza tak?" pintas saya penuh akur.
"Tentulah sebab lelaki dan wanita memang berbeza. Tuhan jadikan darjat kedua-duanya sama, tetapi peranannya berbeza. Bukan sahaja ciri-ciri fizikal berbeza tetapi ciri-ciri rohaniahnya juga."
"Kata orang bela 10 ekor lembu lebih mudah daripada seorang anak perempuan."
"Perbandingan yang tak relevan. Manusia berbeza dengan lembu. Kita ada hati, akal dan perasaan."
"Tapi tak ada yang kata membela 10 ekor lembu lebih mudah daripada seorang anak lelaki..."
"Terpulang pada "gembala"nya. Kena gaya dan caranya, 10 orang anak perempuan pun boleh dijaga."
"Apa tip Tok Wan untuk Sang Gembala?"
"Bila berdepan dengan anak perempuan, bayangkan kita berdepan dengan bakal isteri. Adakah menantu lelaki kita nanti akan mendapat isteri yang solehah? Bayangkan kita berdepan dengan bakal ibu, adakah cucu kita kelak bakal mendapat ibu yang mithali?"
"Lagi Tok Wan?"
"Untuk menjadi seorang ayah yang baik kepada anak perempuannya, Sang Gembala mestilah menjadi seorang anak yang baik kepada ibunya dan suami yang baik kepada isterinya!"
"Lagi Tok Wan?"
"Last but not least, Sang Gembala wajib baik kepada Tuhannya!"
Saya terdiam. Diam yang panjang. Perlukah saya menyoal lagi?
Bagi saya, bertemu dengannya bagai bertemu dengan seorang pendita. Lidahnya petah menuturkan kata-kata yang sarat dengan makna. Justeru, dalam sela-sela waktu yang terluang, saya terus setia mengunjunginya. Pada saya, dia insan istimewa. Biarlah saya singkatkan panggilannya dengan gelaran Tok Wan sahaja (begitulah saya memanggilnya sejak dulu).
Masih teringat kata-katanya sewaktu saya meminta nasihat tentang panduan mendidik anak perempuan. Maklumlah, majoriti anak-anak saya lelaki. Adakalanya bagai ketandusan idea dan cara untuk berdepan dengan karenah anak perempuan.
"Perlu banyak meraikan".
Begitulah kata Tok Wan apabila ditanya tentang tip mendidik anak perempuan.
"Meraikan bagaimana?"
"Raikan mereka dengan kata-kata, belaian dan pemberian. Itu caranya."
"Maksudnya?"
"Hargai pandangan, kegembiraan, kesedihan, kejayaan dan kegagalannya. Selalu ucapkan tahniah, takziah, pujian dan pujukan. Pada ketika yang sesuai, berilah hadiah".
"Kenapa Tok Wan?"
"Umumnya perempuan makhluk perasaan berbanding lelaki makhluk akal. Pendekatan meraikan lebih berkesan bila berdepan dengan perasaan. Pendekatan ini lebih menyentuh dan berkesan."
"Itu pendekatannya, bagaimana pula prinsip asasnya?"
"Wah, kau bertanya macamlah Tok Wan ni seorang profesor!" Tok Wan bergurau. Sejenak kemudian, sambil tersenyum dia berkata, "Itu kena bayangkan...bakal isteri. Kemudian, bakal ibu!"
Wah, Tok Wan dah mula bersilat kata! Saya perlu lebih kritis menyoalnya.
"Bayangkan bakal isteri? Isteri saya?" usik saya.
"Anak perempuan kita bakal seorang isteri. Jadi, bayangkan bagaimana sifat seorang isteri sejati. Itulah "end in mind" yang perlu sewaktu kita mendidik anak perempuan," jelas Tok Wan yang mempunyai latar belakang pendidikan agama dan Barat itu.
Belum sempat saya mencelah, soalan Tok Wan mula menerjah. "Apa yang kau inginkan dari seorang isteri?"
"Ketaatan," balas saya cepat.
"Lalu didiklah anak perempuan tentang ketaatan. Latih agar dia patuh pada perintah yang baik. Apa lagi?"
"Malu".
"Didik supaya dia mengekalkan rasa malu pada tempat dan ketikanya. Latih dia sentiasa menjaga aurat, tidak meninggikan suara dan tidak lasak pada gerak fizikalnya. Ajar erti maruah dan harga diri. Lagi?"
"Cantik..."
"Wah, tak lupa ya...Latih supaya dia menjaga kecantikan tingkah laku, wajah, pakaian, tempat tinggal, bilik dan lain-lain. Biar dia pandai menjaga kekemasan, kecantikan dan keindahan. Biar dia peka dengan nilai-nilai estetika. Lagi?"
Saya diam. Dalam ruang fikiran tergambar isteri saya - ibu anak perempuan saya.
"Kau lupa agaknya..." usik Tok Wan.
"Anak perempuan mesti dibiasakan berada di rumah. Bukan bermakna dia tidak boleh keluar, tapi biasakan dia suka di rumah. Rumah adalah gelanggang wanita. Ruang itu kecil tapi besar peranannya. Ketika suami keluar, isterilah pemimpin anak-anak dan pelindung hartanya.
"Ini payah sikit Tok Wan, sekarang ni perempuan dah luas gelanggangnya!"
"Ah, kekadang yang luas hanya gelanggangnya, tapi kecil peranannya. Sedangkan di rumah walaupun kecil gelanggangnya, tapi amat besar peranannya. Pernah dengar madah, tangan yang mengayun buaian boleh menggoncang dunia?"
"Tadi Tok Wan kata, kena bayangkan juga bakal ibu."
"Apa yang paling kau hargai daripada seorang ibu?"
"Kasih sayangnya."
"Didiklah anak perempuan agar bersifat pengasih. Pengasih dengan adiknya, abang, kakak, binatang peliharaan dan sebagainya. Sebab tu anak perempuan digalakaan bermain dengan anak patung. Itu menyuburkan rasa kasih sayang kepada bayi. Lagi?"
"Sabar"
"Seorang ibu perlu sabar; sabar menanggung perit kehamilan, sakit melahirkan, menjaga sakit-demam, ragam dan karenah anak. Tanamkan sifat sabar anak perempuan dalam menanggung kesakitan, keletihan, kekecewaan dan sebagainya;."
"Mana lebih payah, didik anak perempuan atau anak lelaki?" tanya saya. Dia senyum sinis. Terasa bodoh pula menyoal begitu.
"Soalan tu tak betul! Sepatutnya soalannya begini, ada beza tak antara mendidik anak lelaki dengan anak perempuan? Senang dan susah ini terlalu relatif dan subjektif sifatnya."
"Beza tak?" pintas saya penuh akur.
"Tentulah sebab lelaki dan wanita memang berbeza. Tuhan jadikan darjat kedua-duanya sama, tetapi peranannya berbeza. Bukan sahaja ciri-ciri fizikal berbeza tetapi ciri-ciri rohaniahnya juga."
"Kata orang bela 10 ekor lembu lebih mudah daripada seorang anak perempuan."
"Perbandingan yang tak relevan. Manusia berbeza dengan lembu. Kita ada hati, akal dan perasaan."
"Tapi tak ada yang kata membela 10 ekor lembu lebih mudah daripada seorang anak lelaki..."
"Terpulang pada "gembala"nya. Kena gaya dan caranya, 10 orang anak perempuan pun boleh dijaga."
"Apa tip Tok Wan untuk Sang Gembala?"
"Bila berdepan dengan anak perempuan, bayangkan kita berdepan dengan bakal isteri. Adakah menantu lelaki kita nanti akan mendapat isteri yang solehah? Bayangkan kita berdepan dengan bakal ibu, adakah cucu kita kelak bakal mendapat ibu yang mithali?"
"Lagi Tok Wan?"
"Untuk menjadi seorang ayah yang baik kepada anak perempuannya, Sang Gembala mestilah menjadi seorang anak yang baik kepada ibunya dan suami yang baik kepada isterinya!"
"Lagi Tok Wan?"
"Last but not least, Sang Gembala wajib baik kepada Tuhannya!"
Saya terdiam. Diam yang panjang. Perlukah saya menyoal lagi?
Monday, September 12, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)